Jumat, 19 September 2014

Note tentang Strain Gurame

Layakkah gurame dikelompokkan pada varietas yang berbeda? Jenis gurame apa yang paling unggul? Adakah pembeda yang nyata antar “klaim” strain gurame seperti membedakan ikan mas Majalaya dengan Sinyonya? Pantaskah kemudian mempertanyakan: Benarkah strain soang memiliki keunggulan dibanding jenis lainnya? 

Ikan gurame (Indonesian Goramy, Osphronemus goramy, Lac.) merupakan salah satu ikan asli perairan Indonesia. Menurut Roese and Pauly (2008) ikan ini berasal dari kepulauan Sumatera, Jawa dan Kalimantan sedangkan penyebarannya sudah meliputi Asia Tenggara, Cina dan India. Namun, hasil penelitian sumber daya ikan ini sudah banyak diterbitkan di Amerika dan Eropa. Ikan ini dikenal dengan berbagai nama daerah, diantaranya: gurame, gurami, grameh atau kalui dan di masyarakat dikenal beberapa varietas, antara lain: porselin, soang, blue safir, batu, jepun, paris, bastar, jalak, jali, padang, galunggung dan lainnya.

Secara umum, dikenal dua kelompok ikan gurame, yaitu: jenis berwarna terang/putih dan berwarna gelap. Pada jenis warna terang/putih, hanya terdapat satu varitas, sedangkan pada jenis warna gelap, dengan karakterisasi morfologi menggunakan metode “truss morfometri”, terdapat 5 varitas yang sudah terindentifikasi pada tingkat benih (Rachmawati, 1995; Hardaningsih, 2001). Sedangkan menurut Roberts (1992), berdasarkan stok ikan di Borneo, ikan gurame dapat dibedakan menjadi tiga spesies. Hal yang berbeda dikemukan oleh Nugroho dkk (2002) yang menyatakan secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata pada allele frekuensi antara beberapa kelompok ikan gurami yang diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan biokimia (isozyme). Pada ukuran yang lebih besar, bobot tubuh 2 – 3 kg/ekor, tidak didapatkan perbedaan morfologi antara ikan yang berasal dari Sukabumi, Ciamis, Purwokerto dan Bogor. Pada karakter fenotif, beberapa penelitian mengkonfirmasikan tidak adanya perbedaan yang nyata pada laju pertumbuhan antar kelompok ikan gurame (Wahyudi dkk, 1992; Rusmaedi dkk, 1993; Hardaningsih dkk, 2002; personal observation). Hasil ini sejalan dengan hasil perbandingan laju pertumbuhan benih dari kelompok jenis putih dan merah pada ukuran 0,5 gram (Wahyudi dkk, 1992) dan 50 gram (Rusmaedi dkk, 1993). Hal yang sama ditemukan pula pada pertumbuhan ikan gurami varitas Jalak, Paris dan Putih (Rachmawati, 1999). 

Dari beragam data tersebut, pantaslah kemudian bertanya: layakkah gurame dikelompokkan pada varietas yang berbeda? jenis gurame apa yang paling unggul? Adakah pembeda yang nyata antar “klaim” strain? Kemudian pantaskah kemudian mempertanyakan: Benarkah strain soang memiliki keunggulan dibanding jenis lainnya? Menelusuri pertanyaan-pertanyaan tersebut, mohon dimengerti bahwa note ini hanya sekedar berbagi cerita dari sisi praktisi dan bukan dari sisi “tukang dagang”.

Semestinya, bila satu kelompok/populasi ikan diklaim sebagai satu varietas tertentu, harus memiliki setidaknya satu keunikan yang berbeda dibanding dengan varietas lainnya. Pada kasus ikan mas misalnya: strain sinyonya dikenal dengan warna kuning dan mata sipit. Bila terjadi warna kuning dengan mata yang menonjol maka sudah dianggap sebagai sinyonya yang tidak murni lagi. Kekhasan tersebut selalu terjadi pada berbagai lingkungan berbeda dan diturunkan secara nyata pada turunannya dari ukuran kecil hingga besar. Dan yang pasti, kekhasan tersebut dikenal dengan nama yang sama di masyarakat. 

Pada gurame, adakah kekhasan tersebut yang selalu sama pada berbagai lingkungan dan yakin bahwa nama di satu daerah, misalnya soang Ciamis, menunjukkan perbedaan karakter dengan nama di daerah lainnya, misalnya jali Yogya? Atau jangan-jangan hanya sekedar penamaan yang lebih menekankan pada kekhasan daerah pengembangan untuk berbeda dengan daerah lainnya. Atau lebih dikhawatirkan lagi, penamaan hanya sekedar untuk menaikkan pamor dan harga jual, yang pada akhirnya semua orang menginginkan hanya membeli dan menjual gurame soang!!! 

Pada banyak kesempatan, ada beberapa pihak yang mengemukakan ciri khas soang namun rasanya belum cukup meyakinkan untuk dapat diterima. Sulit diterima bila soang dicirikan dengan dua karakter warna berbeda: punggung hitam atau warna putih dengan spot hitam. Gurame putih dengan spot hitam (borontok) biasanya merupakan kawin-silang gurame punggung hitam dengan gurame putih. Sulit diterima bila soang dicirikan dengan benjolan kepala yang lebih menonjol dan dapat terjadi baik pada jantan atau betina. Benjolan kepala dipengaruhi oleh umur ikan dan cenderung dapat terjadi pada keduanya hanya saja pada jantan memang lebih menonjol. Sulit diterima soang diyakini dapat mencapai masa panen yang lebih singkat bila ukuran tebar, jumlah tebar dan aspek budidaya lain tidak diperhitungkan, sebagai contoh sudah pasti panen size 6-7 ons dapat lebih cepat bila ukuran tebar 3-3,5 ons dibanding 1,5-2 ons/ekor, apalagi dengan padat tebar rendah. Sama sulitnya menerima adanya fekunditas (jumlah telur pada induk betina) yang lebih tinggi pada nama tertentu dibanding nama lainnya tanpa mempertimbangkan bobot dan umur masing-masing nama (lebih realistis bila fekunditas didasarkan pada bobot relatif induk pada umur yang sama). 

Tentunya, note ini bukan untuk menghakimi satu nama dibanding nama lainnya. Penelusuran kemungkinan adanya perbedaan karakteristik tentu harus dilakukan, baik secara fenotif (karakter yang tampak) ataupun genotif (dengan menggunakan marka/penanda DNA atau DNA marker), baik untuk tujuan penyeragamanan ataupun dalam rangka pemuliaan induk atau selective breeding. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan mengumpulkan berbagai nama berbeda pada satu kolam dengan lingkungan air yang sama kemudian para ahli/praktisi/pembudidaya menentukan perbedaan yang nampak. Sangat mungkin dua nama berbeda berasal dari satu ikan yang sama! Dapat pula dilakukan, memelihara suatu populasi ikan yang satu keturunan pada berbagai lingkungan warna air yang berbeda. Observasi personal menunjukkan adanya perubahan warna pada populasi ikan yang dapat menunjukkan dua atau tiga nama berbeda. Bila menginginkan penelusuran karakter morfologi/morfometri, ada baiknya berdasarkan pada berbagai ukuran ikan, bukan hanya pada tingkat benih, dan memastikan sumber benih yang berbeda, jangan sampai membandingkan benih misalnya dari Tulung Agung, Purwokerto dan Tasikmalaya, padahal telur Purwokerto dikirim ke Tulung Agung untuk dideder dan kemudian sebagian benihnya dijual ke Tasikmalaya! Dan tentunya, karakter fenotif yang masih dapat dibedakan kemudian dipastikan dengan penelusuran menggunakan DNA marker. 

Sumber : http://sunarma.net/2008/08/note-tentang-strain-gurame/#sthash.el8jBO5M.dpuf

Kamis, 18 September 2014

Pertanian Masyarakat Ramah Lingkungan Gaya Jorong Simancuang


Jorong Simancuang, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Solok Selatan Sumatra Barat ini memiliki hamparan sawah seluas 200 hektar. Letak rumah – rumahnya pun sedikit berbeda dengan desa – desa pada umumnya. Di desa ini rumah – rumah berada diantara sawah – sawah sehingga jarak antara rumah yang satu dan rumah yang lainnya berjauhan sehingga untuk mencapai rumah – rumah tersebut harus melalui pematang sawah. Masyarakat Simancuang memiliki aturan khusus dalam mengelola wilayah desa mereka. Aturan ini dibuat berdasarkan kontur wilayah yang merupakan hulu Sungai Batang Simancuang. Untuk areal persawahan dibuat di pinggir aliran sungai. 

Tiap-tiap orang mendapatkan lahan sawah dengan ukuran lebar 50 meter diukur dari pinggiran aliran sungai sedangkan panjang lahan tergantung pada kemampuan mereka untuk membuka lahan. Mereka membuat sawah di kepala-kepala aliran sungai agar lahan-lahan sawah mendapatkan distribusi air yang cukup. Cadangan air untuk sawah – sawah ini tersimpan di kawasan hutan yang terletak di bagian barat desa. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai hutan nagari (hutan desa) dan dikelola oleh Pengelola Hutan Nagari Simancuang.

Sebagian besar warga desa yang berdiri sejak tahun 1974 ini berprofesi sebagai petani padi dan masih mempertahankan cara menanam padi tradisional sehingga jumlah pupuk dan pembasmi hama berbahan kimia yang digunakan jauh lebih sedikit. Penanaman padi dilakukan dua kali dalam setahun. Waktu bertanam padi sengaja dilakukan secara serentak dengan tujuan untuk mengurangi serangan hama. Sebelum dibajak dan ditanami, sawah terlebih dahulu diberi pupuk berupa kotoran ternak. Kemudian bibit padi yang akan ditanam dicelupkan terlebih dahulu kedalam pupuk NPK. Setelah ditanam padi tidak perlu diberi pupuk lagi.

Esy, seorang petani padi di Simancuang mengaku membersihkan gulma dengan menggunakan herbisida memerlukan biaya yang cukup besar sehingga ia lebih memilih untuk membasmi gulma secara manual karena tidak memerlukan biaya. Disamping membasmi gulma secara manual, keong sawah juga digunakan oleh warga Simancuang untuk mengendalikan gulma di sawah mereka. Jenis padi yang ditanam di desa ini adalah jenis padi lokal. Padi jenis Anak Daro adalah padi unggulan dari desa ini karena menghasilkan beras yang paling tinggi harga jualnya. Beras Anak Daro dijual dengan kisaran harga Rp 13.000 hingga Rp 14.000 per sukek (1 sukek = 1,6 kilogram). Tapi harga ini bukanlah harga didapat oleh petani Simancuang karena selama ini mereka menjual berasnya ke tengkulak. Tengkulak hanya menghargai beras mereka sebesar Rp 11.000 per sukek. Oleh karena itu Pengelola Hutan Nagari Simancuang berinisiatif membentuk unit usaha penjualan beras agar dapat menjual beras tanpa melalui tengkulak. 

KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi yang telah mendampingi masyarakat Simancuang dari tahun 2009 juga terus berupaya memperkenalkan dan memperluas jaringan distribusi beras Simancuang sehingga nantinya petani Simancuang dapat menjual berasnya secara mandiri. “Saat ini kami meminta bantuan KKI Warsi untuk mendapatkan sertifikasi beras organik” jelas Edison, Koordinator Pengelola Hutan Nagari Simancuang. Dengan mengantongi sertifikat organik ini ia berharap beras Simancuang dapat dijual dengan harga yang lebih baik dan dapat dijual langsung ke konsumen tanpa harus melalui tengkulak. 

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2013/09/26/pertanian-masyarakat-ramah-lingkungan-gaya-jorong-    simancuang/

HM Akas Alamuddin : Presiden Republik Lele

Berpagar tembok tinggi dengan gerbang besi warna hijau. Sesaat setelah dibuka, sebuah bangunan memanjang mirip barak militer bertuliskan Republik Lele menyambut. Barisan kolam dengan konstruksi semi bak mengintip di seberang halaman tengah. 
“Selamat datang di Republik Lele,”sambut HM Akas Alimuddin, sang ‘presiden’ Republik Lele. Di tempat inilah Akas – panggilan akrabnya, merintis budidaya lele sejak 1982. Pusat budidaya ikan lele yang terletak di Kota Pare, Kediri Jawa Timurini sekaligus menjadi saksi ‘proklamasi’ Republik Lele pada 12 Desember 1985, setahun setelah lele dumbo diintroduksi oleh pemerintah.
“Maka di sini pula saya sering menerima tamu, supaya ceritanya nyambung. Sekarang kolam yang paling luas bukan di sini. Ini semacam kantor saja, dengan beberapa kolam dan kandang kambing,” kata pria berusia 64 tahun yang masih tampak enerjik ini.
Bukan sekadar gagah-gagahan, saat nama Republik Lele dikibarkan. “Nama itu mengandung harapan, bahwa komoditas lele bisa menjadi tumpuan bagi kehidupan pembudidaya dan seluruh matarantai ekonominya,” ungkap sarjana teknik pelayaran ini.
Nilai Bisnis Republik Lele
Dari sisi komparasi bisnis, Akas membandingkan peluang budidaya lele dengan bertanam padi. Setiap hektar sawah, hanya mampu menghasilkan 30 ton padi/tahun atau setara Rp 120 juta. Sangat jauh di bawah hasil panen lele pada luasan yang sama, mencapai 700 ton/tahun atau setara omzet Rp 7,3 miliar.
Layak, jika Akas terus mengembangkan usahanya. Mulai dari 3 petak kolam pada 1984, berkembang menjadi 16 petak pada 1994. “Sepuluh tahun kemudian (2004) sudah menjadi 400 petak, dan kini menembus 620 petak dengan luasan lahan 3 ha. Semua kolam bak permanen,” urai pria berputra 5 ini. Pada 2010 Akas sudah bisa panen lele 70 – 80 ton/bulan, dan pada 2012 ini tembus 120 ton/bulan.
Kesuksesan baginya tidak boleh membuat lupa diri. Sehingga Akas tetap melanjutkan kebiasaannya minum kopi di warung sederhana dekat rumahnya, berbagi cerita dengan masyarakat kampung hingga hampir tengah malam. “Bahkan forum santai itu sering menjadi ajang konsultasi. Saya pun terbuka membagi ilmu kepada mereka,” ungkapnya.
Merintis Budidaya Lele
Kisah panjang kesuksesan  Akas Alamuddin, dimulai dari keberhasilannya membudidayakan lele lokal (Clarias batracus) pada 1982. “Waktu itu, budidaya lele dilakukan dalam gentong-gentong di pinggir sungai karena lele belum beradaptasi dengan kolam,” tuturnya.
Dua tahun berjalan, pada 1984 Akas beralih membudidayakan lele dumbo yang saat itu sedang diintroduksi. “Untuk memproduksi benih masih harus memakai pemijahan buatan yang cukup repot. Pakai injeksi hipofisa dan stripping,”katanya. Berbekal rasa penasaran dan keuletan, pada 1985 Akas mencoba memijahkan lele dumbo secara alami, dan baru berhasil pada 1987.
Pada 1992, Akas memutuskan untuk berhenti membenihkan lele karena skill pembenihan sulit diwakilkan/didelegasikan kepada orang lain. “Alias skill individual,” tegasnya. Menurutnya, usaha yang menuntut skill individual lebih sulit untuk berkembang secara masif ketimbang pekerjaan yang bisa ‘diwakilkan’ kepada orang lain.Akas pun memutuskan untuk konsentrasi pada pembesaran lele. “Tapi saya mengajari masyarakat sekitar untuk menjadi pembenih yang qualified . Kini setiap bulan saya dipasok 2 juta ekor benih dari 15 - 20 orang binaan saya itu,” terangnya.
Artikel selengkapnya baca majalah Trobos edisi Agustus 2012
sumber : http://www.trobos.com/show_article.php?rid=22&aid=3504